Home | Saved News
(+) Save News



Harga Minyak WTI Naik Setelah Uni Eropa Setuju Sanksi Pembatasan Armada Minyak Rusia



Harga Minyak WTI Naik Setelah Uni Eropa Setuju Sanksi Pembatasan Armada Minyak Rusia

Reporter: Nova Betriani Sinambela | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga minyak mentah dunia naik seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap pasokan akibat persetujuan Uni Eropa atas paket sanksi baru yang menargetkan aliran minyak Rusia.

Berdasarkan Trading Economics, Kamis (12/11) pukul 14:40 wib, minyak WTI diperdagangkan di level US$ 70,416 per barel, naik 0,18% dalam sehari. Sementara dalam sepekan tercatat mendaki 4,8%.

Research and Development ICDX Girta Yoga mengatakan, pada hari Rabu para duta besar Uni Eropa telah menyetujui paket sanksi ke-15 kepada Rusia atas perangnya melawan Ukraina, dan sanksi tersebut menargetkan armada bayangan Rusia. 

Untuk diketahui sebelumnya pada 2022, G7 memberlakukan batas harga sebesar US$ 60 per barel untuk minyak mentah Rusia yang diangkut melalui laut. Ini dilakukan dalam upaya untuk membatasi pendapatan Rusia dari ekspor minyaknya.

Namun, Rusia malah menggunakan armada bayangan untuk menghindari batas harga tersebut. "Kapal-kapal yang digunakan sering kali tidak terdaftar secara resmi, atau bahkan menggunakan bendera negara lain untuk menyamarkan asal muasal minyak yang diangkut," kata Yoga dalam riset hariannya, Kamis (12/12).

Selain itu, Yoga menyampaikan, pemerintahan Biden tampaknya sedang mempertimbangkan penerapan sanksi yang lebih keras terhadap perdagangan minyak Rusia dalam beberapa minggu mendatang, sebelum presiden terpilih Donald Trump kembali menjabat di Gedung Putih.

Di sisi lain, kelompok produsen OPEC+ memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak untuk tahun 2024 dan 2025, menandai penurunan terbesar yang pernah terjadi selama lima bulan berturut-turut pada Rabu. 

Sebelumnya pada awal bulan ini OPEC+, yang merupakan kelompok anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dengan produsen lain seperti Rusia, menunda rencana untuk meningkatkan produksi minyak. 

"Lemahnya permintaan terutama dari Tiongkok sebagai negara importir utama, dan pertumbuhan pasokan non-OPEC+ menjadi faktor utama dibalik langkah ini," jelas Yoga. 

Kendati demikian pelaku pasar juga mengantisipasi peningkatan permintaan dari China setelah Beijing mengumumkan rencana untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar pada tahun 2025. Sentimen pelonggaran kebijakan moneter ini berpotensi mendorong permintaan minyak. 

Pada bulan November lalu, China mengimpor lebih banyak minyak mentah untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir. Otoritas bea cukai China melaporkan impor mencapai 48,5 juta ton atau 11,8 juta barel per hari, ini merupakan kenaikan 14% pada bulan November dibandingkan tahun sebelumnya.

Dengan sentimen-sentimen ini, Yoga memperkirakan harga minyak berpotensi menemui posisi resistance terdekat di level US$ 75,50 per barel. Namun, apabila menemui katalis negatif maka harga berpotensi turun ke support terdekat di level US$ 66,50 per barel.




Source Berita


© 2024 - DotNet HTML News - Using AngleSharp and .NET 8.0 LTS