Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indeks dollar Amerika Serikat (DXY) mengalami pelemahan setelah kembali berada di bawah level 100. Hal ini karena meningkatnya ekspektasi penurunan suku bunga Federal Reserve (The Fed).
Taufan Dimas Hareva, Research and Development ICDX mengatakan, indeks dolar melemah kembali ke bawah level 100 seiring meningkatnya ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga pada pertemuan Desember.
Penurunan ini juga dipicu oleh data ekonomi Amerika Serikat yang melemah, termasuk kontraksi pada indeks manufaktur dan indikator aktivitas yang menandakan perlambatan ekonomi.
Kondisi tersebut menekan imbal hasil obligasi AS dan mengurangi daya tarik dolar sebagai aset safe haven. Di saat yang sama, perbaikan sentimen risiko global mendorong investor keluar dari dolar menuju aset dan mata uang lain yang menawarkan prospek imbal hasil lebih baik.
“Ke depan, indeks dolar diproyeksikan bergerak dalam tren melemah hingga penghujung tahun, dengan kisaran pergerakan diperkirakan berada di area 98 hingga 101 selama tidak ada kejutan data yang berpotensi memicu penguatan dolar kembali,” ujar Taufan kepada Kontan, Selasa (2/12).
Taufan menambahkan bahwa ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter yang semakin kuat menjadi faktor utama yang menjaga tekanan pada dolar.
Selain itu, sejumlah bank sentral global seperti European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) cenderung mempertahankan kebijakan yang stabil. Sehingga memberikan ruang bagi mata uang mereka untuk tetap lebih kuat terhadap dolar.
Dalam kondisi tersebut, beberapa mata uang global menunjukkan potensi pergerakan yang lebih stabil dibanding dolar AS, terutama yang didukung oleh prospek kebijakan moneter yang relatif lebih ketat atau fundamental ekonomi yang masih solid.
Euro dan poundsterling, misalnya, berpotensi mempertahankan momentumnya selama bank sentral masing-masing menjaga suku bunga tetap tinggi dan inflasi melandai secara bertahap.
Lalu, mata uang komoditas seperti dolar Australia dan dolar Selandia Baru juga dapat mengambil manfaat apabila sentimen risiko global terus membaik dan permintaan komoditas terjaga.
Sementara itu, aset defensif seperti Yen Jepang dan Swiss Franc tetap relevan sebagai mata uang safe haven ketika terjadi ketidakpastian global. Meskipun ruang penguatannya sangat bergantung pada arah kebijakan bank sentral dan dinamika imbal hasil obligasi negara maju.
“Dengan demikian, pergerakan sejumlah mata uang hingga akhir tahun akan sangat ditentukan oleh kombinasi sentimen risiko global, arah kebijakan moneter bank sentral utama, serta perkembangan situasi geopolitik yang sewaktu-waktu dapat memengaruhi preferensi investor,” jelas Taufan.