Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kiprah perusahaan berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) di pasar modal bisa semakin ramai. Hal ini didorong penggunaan energi hijau yang diproyeksikan dalam tren naik, baik di Indonesia maupun secara global.
Terlebih, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto beberapa kali menyampaikan komitmen untuk menurunkan emisi dan mendorong pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT. Komitmen Indonesia menuju kapasitas energi terbarukan sebesar 75 gigawatt (GW) pada tahun 2040 juga telah disampaikan pemerintah dalam Conference of The Parties (COP) 29 di Azerbaijan.
Praktisi Pasar Modal, Hans Kwee melihat tren global dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mendorong pengembangan energi hijau akan menjadi sentimen positif bagi perusahaan EBT yang akan go public. Hal ini sekaligus bisa menjadi daya tarik investor terhadap aksi penawaran umum perdana saham alias Initial Public Offering (IPO) perusahaan EBT.
"IPO perusahaan energi terbarukan cenderung akan diminati investor, mengingat prioritas pemerintah Indonesia dan global dalam mendorong lingkungan berkelanjutan termasuk melalui penggunaan energi ramah lingkungan," ungkap Hans, Rabu (11/12).
Vice President Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi menilai, IPO perusahaan EBT potensial untuk diminati investor. Sebab, berbagai sentimen mengarah pada outlook yang positif, terutama dengan dukungan berbagai stakeholders seperti pemerintah.
Audi melihat potensi kiprah perusahaan berbasis EBT akan ramai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebab, go public menjadi salah satu pilihan menarik untuk mendapatkan tambahan modal. Saat ini pun, banyak emiten yang sudah ekspansi atau mendiversifikasi bisnisnya ke ranah EBT.
Hans menyarankan agar pelaku pasar mencermati pipeline dan profil perusahaan EBT, termasuk yang berpotensi melakukan IPO. Sebab, setiap jenis EBT memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda.
Contohnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) alias geothermal yang cenderung membutuhkan investasi serta biaya perawatan atau pemeliharaan yang cukup besar. Sedangkan tantangan di sumber energi lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) adalah stabilitas, karena bergantung pada kecepatan angin.
Selain itu, pengembangan sumber EBT lainnya masih banyak tantangan untuk dikembangkan, seperti pembangkit listrik tenaga arus laut. "Akan tetapi, ujungnya adalah profit untuk kita melihat prospek perusahaan energi terbarukan ke depannya," imbuh Hans.
Katalis bagi emiten EBT adalah komitmen pemerintah untuk mencapai target karbon netral (net zero emission) pada 2060 atau lebih cepat. Kemudian target untuk mencapai bauran energi bersih 23% pada tahun 2025 dan 40% pada tahun 2030.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun telah menyatakan target bauran energi bersih minimal 60% dalam draft Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033. Hal ini diperkuat dengan komitmen PT PLN (Persero) untuk melibatkan swasta dalam pengembangan pembangkit EBT.
Di sisi lain, Indonesia punya potensi EBT dengan jumlah besar. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, potensi EBT mencapai 3.687 GW. Tetapi saat ini pemanfaatannya masih mini, sekitar 13.781 Megawatt (MW).
Hal tersebut mencerminkan potensi pengembangan EBT yang masih terbuka lebar di Indonesia. Potensi tersebut bisa terus dikembangkan sejalan dengan potensi peningkatan permintaan (demand) listrik ke depan. Apalagi dengan target pertumbuhan ekonomi 8%, yang akan mendongkrak permintaan energi dan listrik.
Guna mengakselerasi pengembangan EBT, Hans menilai pemerintah juga perlu mendorong dengan pemberian insentif, seperti insentif fiskal serta kebijakan atau regulasi yang menarik minat investor. Dengan begitu, pengembangan atau pemanfaatan potensi EBT diharapkan bisa lebih optimal.