Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten berbondong-bondong menggelar ekspansi ke bisnis panas bumi. Persaingan di sektor ini pun diyakini akan semakin ketat di tengah prospek positif energi terbarukan di Indonesia.
Sebagai contoh, emiten Grup Sinar Mas, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) melalui anak usahanya PT DSSR Daya Mas Sakti awal November ini resmi menjalin kemitraan strategis dengan PT FirstGen Geothermal Indonesia, anak usaha dari Energy Development Corporation (EDC) sekaligus bagian dari First Gen Corporation yang bergerak di bidang energi terbarukan di Filipina.
Kemitraan ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada Agustus 2025 lalu.
Baik DSSR dan FirstGen mendirikan perusahaan patungan yaitu PT Daya Mas Bumi Sentosa (DMBS) yang berfokus pada pengembangan proyek-proyek panas bumi dengan total potensi kapasitas awal 440 megawatt (MW) di Indonesia.
Selain DSSA, ada PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) yang belum lama ini membentuk perusahaan patungan bernama PT Toka Tindung Geothermal (TTG) sebagai hasil kolaborasi dengan PT Ormat Geothermal Indonesia (Ormat). Persentase kepemilikan ARCI dan Ormat di dalam TTG masing-masing 5% dan 95%.
TTG telah memperoleh Izin Panas Bumi pada 13 Juni 2025 dan berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang berkapasitas 40 megawatt (MW).
Ada pula PT Futura Energi Global Tbk (FUTR) yang telah bertransformasi menjadi perusahaan energi terbarukan usai diakuisisi oleh PT Aurora Dhana Nusantara (Ardhantara). Ardhantara sebagai pengendali baru FUTR akan mengintegrasikan aset berbasis energi terbarukan, termasuk PLTP Gunung Slamet dan beberapa aset lain yang masih tahap finalisasi.
Sebagai informasi, Ardhantara tengah mengembangkan pembangkit panas bumi di Gunung Slamet, Jawa Tengah, dengan potensi kapasitas sekitar 220 MW. Proyek ini telah mengantongi Power Purchase Agreement (PPA) bersama PLN.
Ketiga emiten ini akan bersaing dengan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) yang sudah memiliki nama besar dan aset jumbo di sektor panas bumi.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Reza Diofanda mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat industri panas bumi banyak dilirik oleh emiten. Salah satunya adalah karakteristik panas bumi yang bersifat baseload atau bisa beroperasi stabil selama 24 jam, sehingga panas bumi lebih unggul dari sisi keandalan pasokan dibandingkan energi terbarukan lainnya.
Berikutnya, walau investasi besar diperlukan ketika tahap eksplorasi, pendapatan panas bumi bersifat kontraktual dan jangka panjang melalui skema PPA bersama PLN. Hal ini memberi kepastian arus kas yang menarik bagi emiten pengembang panas bumi.
Adanya dukungan seperti tax allowance, kemudahan pembiayaan dari lembaga multilateral, dan percepatan perizinan membuat risiko proyek panas bumi menjadi lebih bisa dikelola. Insentif seperti ini tentu menjadi katalis tambahan bagi emiten yang ingin masuk ke sektor energi terbarukan, termasuk panas bumi.
“Faktor-faktor tersebut membuat panas bumi menjadi sektor strategis, tidak hanya untuk emiten energi terbarukan murni seperti PGEO dan BREN, tetapi juga untuk grup konglomerasi seperti DSSA, ARCI, hingga FUTR,” ungkap dia, Senin (17/11/2025).
Dia menambahkan, masuknya pemain baru di atas kertas akan meningkatkan persaingan. Namun, karakter sektor panas bumi yang padat modal, padat teknologi, dan penuh risiko akan menciptakan entry barier yang relatif tinggi, sehingga hanya emiten dengan neraca keuangan kuat yang mampu bertahan.
Dengan begitu, persaingan antar emiten di sektor panas bumi tidak akan terlalu padat.
“Justru, kolaborasi atau joint venture lebih dominan dibandingkan kompetisi langsung,” imbuh Reza.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menilai, prospek sektor panas bumi sangat positif secara jangka panjang. Hal ini didukung oleh permintaan energi terbarukan yang terus meningkat dan panas bumi menjadi salah satu pilar utama dalam target bauran energi nasional.
Namun, tetap ada tantangan besar yang tidak bisa diabaikan, yakni biaya investasi awal yang sangat tinggi, proses eksplorasi yang kompleks dan memakan waktu, kebutuhan teknologi, serta risiko pengembalian modal yang panjang.
Oleh karena itu, emiten yang masuk ke sektor panas bumi harus disiplin dalam manajemen risiko proyek. Jika tidak dikelola dengan baik, neraca keuangan bisa tertekan cukup signifikan akibat beban capital expenditure (capex).
“Di sinilah pentingnya kolaborasi dengan mitra berpengalaman, pendanaan murah, dan eksekusi teknis yang tepat,” terang dia, Senin (17/11/2025).
Ekky menyebut, saham sektor panas bumi layak dipertimbangkan oleh investor, terutama bagi mereka yang berorientasi jangka panjang dan punya preferensi defensif. Saham PGEO dan BREN masih menjadi tolok ukur utama di sektor ini karena skala, aset, dan pengalaman operasionalnya sudah terbukti.
Untuk PGEO, pergerakan harga saham ini memang masih tertekan. Namun, jika momentum berbalik dan muncul katalis operasional baru, saham PGEO berpeluang menguat ke level Rp 1.800—Rp 2.000 per saham.
Adapun saham BREN dapat mulai dikoleksi bertahap, mengingat sentimen sektoral masih kuat dengan target harga terdekat kembali menuju Rp 12.000 per saham dalam jangka menengah.
Senada, Reza juga menganggap PGEO dan BREN tetap jadi acuan karena memiliki kapasitas terbesar dan rekam jejak paling kuat. Sebaliknya, emiten pendatang baru seperti DSSA, ARCI, dan FUTR lebih cocok dipantau dari sisi progres proyek, bukan valuasi jangka pendek, mengingat mereka masih di tahap awal dalam bisnis panas bumi.