Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten penyedia infrastruktur telekomunikasi, PT Bali Towerindo Sentra Tbk (BALI) alias Bali Tower melayangkan gugatan senilai Rp 3,37 triliun menjelang berakhirnya masa kontrak eksklusifnya di Kabupaten Badung, Bali pada 2027.
Adapun Pemkab Badung digugat oleh Bali Towerindo terkait wanprestasi terhadap Surat Perjanjian Nomor 555/2818/DISHUB-BD dan Nomor 018/BADUNG/PKS/2007 yang diteken pada 7 Mei 2007 terkait penyediaan infrastruktur menara telekomunikasi terintegrasi di wilayah Badung.
Gugatan perkara wanprestasi terdaftar di Pengadilan Negeri Denpasar dengan Nomor 1372/Pdt.G/2025/PN Dps. Perkara tersebut sudah mulai sidang dengan agenda mediasi pada 20 Oktober 2025.
Dalam dokumen Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Denpasar, Bali Towerindo menilai Pemkab Badung tidak memenuhi ketentuan perjanjian yang diperoleh Bali Towerindo melalui mekanisme lelang izin pengusahaan.
Dalam petitum, penggugat meminta pengadilan menyatakan perjanjian tersebut sah dan mengikat serta menyatakan adanya wanprestasi oleh tergugat. Bali Towerindo juga menuntut ganti rugi sebesar Rp 3,373 triliun lebih kepada Pemkab Badung.
Adapun tuntutan tersebut akan dibatalkan, jika Pemkab Badung bersedia memperpanjang kontrak. Perpanjangan kontrak eksklusif ini yang menjadi sorotan para penyedia menara infrastruktur lainnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Infrastruktur & Menara Telekomunikasi (ASPIMTEL) Theodorus Ardi Hartoko menegaskan kontrak ekslusif yang telah diterapkan menghambat industri, merugikan operator hingga berdampak pada kualitas layanan telekomunikasi.
Pria yang akrab dipanggil Teddy ini bilang perjanjian eksklusif antara Pemerintah Kabupaten Badung dan salah satu perusahaan menara telekomunikasi membuat kehadiran pelaku usaha lain dianggap ilegal.
“Berbagai upaya diskusi dan negosiasi yang dilakukan ASPIMTEL tidak membuahkan hasil,” jelas pria yang menjabat sebagai Direktur Utama Mitratel ini, Kamis (4/12/2025).
Menurutnya, sejumlah permohonan izin pembangunan menara telah diajukan melalui OSS. Namun, pemerintah daerah setempat tidak menerbitkan izin tersebut dengan alasan terikat kontrak dengan salah satu penyedia menara telekomunikasi.
Teddy bilang, ASPIMTEL bersedia untuk berdialog dengan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat agar izin usaha infrastruktur telekomunikasi kembali terbuka tanpa praktik eksklusivitas.
“Kami ingin semua stakeholder, operator, regulator, dan masyarakat, bersuara bersama. Jika eksklusivitas diperpanjang, iklim usaha akan makin tidak sehat, dan masyarakat yang paling dirugikan,” kata Teddy.
Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat turun tangan mendalami kerja sama terkait kontrak eksklusif tersebut.
“Untuk menilai apakah perjanjian yang dilakukan dulu antara Pemkab dan perusahaan tersebut ada unsur tipikor atau tidak, agar sengketa ini bisa dilihat secara lebih jernih,” ucapnya.
Heru mendorong agar Pemkab Badung yang kini memberikan izin operator lain membangun menara atau tower telekomunikasi di wilayah Badung untuk kepentingan masyarakat luas.