Reporter: Ferry Saputra | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri fintech peer to peer (P2P) lending kembali diterpa sejumlah permasalahan, terutama yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan (governance).
Kasus terbaru menimpa PT Crowde Membangun Bangsa (Crowde) yang izin usahanya resmi dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah tidak memenuhi berbagai ketentuan, termasuk aspek tata kelola yang dinilai lemah hingga berdampak pada kinerja perusahaan.
Tak hanya itu, PT Dana Syariah Indonesia (DSI), fintech P2P lending berbasis syariah, juga tengah menghadapi kesulitan penarikan dana lender.
OJK telah mengenakan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) terhadap DSI sejak 15 Oktober 2025 sebagai langkah pengawasan agar perusahaan fokus menyelesaikan kewajibannya kepada pemberi dana.
Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menegaskan pentingnya penguatan tata kelola dan etika bisnis di industri fintech lending.
Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengatakan bahwa pihaknya terus mendorong para anggota untuk mematuhi standar governance yang baik.
“Kami selalu mendorong seluruh anggota untuk memperkuat tata kelola dan governance. Kami memiliki standar dan selalu berupaya mengkomunikasikannya,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (11/11/2025).
Namun, Pandu mengakui bahwa tidak semua anggota sepenuhnya mematuhi arahan tersebut. Dalam praktiknya, AFTECH akan memberikan peringatan hingga skorsing bagi anggota yang melanggar.
“Tidak ada yang sempurna. Jika ada satu-dua anggota yang tidak mengikuti, kami beri peringatan. Kalau tidak cukup, kami lakukan skorsing. Bila tetap tidak patuh, kami lepaskan keanggotaannya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, AFTECH juga berkoordinasi dengan OJK dalam menangani anggota yang melanggar kode etik, khususnya terkait tata kelola.
Pandu tetap optimistis kondisi industri fintech lending akan membaik dengan pengawasan yang semakin ketat.
Sementara itu, Ketua Dewan Etik AFTECH Harun Reksodiputro menjelaskan bahwa asosiasi biasanya akan mendalami terlebih dahulu akar permasalahan sebelum memberikan penilaian.
“Kalau ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran, kami harus melihat duduk persoalannya. Tidak bisa langsung menyimpulkan tata kelolanya buruk. Bisa jadi masalahnya berasal dari faktor eksternal,” katanya.
Menurut Harun, langkah awal AFTECH biasanya berupa pemanggilan kepada anggota yang bermasalah untuk klarifikasi dan pengingat atas kode etik organisasi.
Salah satu poin utama dalam kode etik tersebut adalah itikad baik dalam menjalankan bisnis.
Ia menegaskan bahwa tata kelola dan etika yang kuat menjadi pondasi penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap industri fintech.
“Tanpa kepercayaan masyarakat dan investor, inovasi fintech tidak akan bisa tumbuh berkelanjutan,” ujarnya.
Harun mengakui bahwa belakangan ini industri fintech menghadapi tantangan serius dalam menjaga kepercayaan, terutama akibat maraknya kasus fraud, scam, dan praktik ilegal yang mencoreng reputasi industri.
Karena itu, AFTECH menempatkan penguatan tata kelola dan etika sebagai prioritas utama dalam pengawasan asosiasi.
“Tujuannya adalah meningkatkan kepatuhan anggota, memperkuat kepercayaan masyarakat dan investor, serta menciptakan ekosistem fintech yang sehat dan kredibel,” tegas Harun.