Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) resmi merevisi aturan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) karena kebijakan sebelumnya dinilai belum mampu mendongkrak cadangan devisa secara signifikan.
Perubahan ini disiapkan melalui revisi kedua PP 36/2023 yang dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2026.
Dalam pemaparan Kementerian Keuangan, pemerintah mewajibkan seluruh DHE SDA ditempatkan di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Ketentuan konversi valuta asing (valas) ke rupiah juga diperketat, dari sebelumnya tanpa batas jelas menjadi maksimal 50%. Retensi 100% untuk DHE non-migas tetap diberlakukan selama 12 bulan, sementara penggunaan valas diperluas untuk kebutuhan pengadaan barang, jasa, dan modal kerja.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tidak lagi menjadi tempat penempatan dana. Seluruh DHE wajib masuk ke rekening khusus bank BUMN berizin valas. Instrumen penempatan juga diperluas, termasuk surat berharga negara (SBN) valas, dengan ketentuan bahwa penempatan di SBN valas tidak dapat ditarik hingga masa retensi berakhir.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai kebijakan baru ini muncul karena perilaku eksportir selama ini tidak mendukung peningkatan cadangan devisa. Walaupun sudah ada rekening khusus, mayoritas eksportir tetap menukar dana ke rupiah atau memindahkannya ke luar negeri.
Josua mencatat, dari aliran DHE non-migas sebesar US$ 9,5 miliar hingga US$ 10,5 miliar per bulan (Maret–September 2025), lebih dari 70% dikonversi ke rupiah. Sementara dana yang bertahan dalam bentuk valas hanya sekitar 8%–17% dan terus menurun.
Dengan aturan baru 100% wajib masuk Himbara, batas konversi 50%, serta pembatasan penggunaan valas hanya melalui rekening khusus, pemerintah dan BI diyakini akan memiliki kontrol jauh lebih besar atas likuiditas valas yang selama ini mudah keluar.
Josua menilai kebijakan ini secara mekanis dapat meningkatkan stok valas yang tertahan di sistem keuangan domestik. Dengan rata-rata dana DHE non-migas sekitar US$ 10 miliar per bulan, pembatasan konversi berpotensi menahan tambahan sekitar 30% valas, setara US$ 3 miliar per bulan atau lebih dari US$ 30 miliar per tahun.
Dana tersebut akan bertahan di dalam negeri sebagai simpanan di Himbara atau penempatan pada instrumen valas, termasuk SBN valas.
“Ini akan memperdalam pasar valas domestik, memperkuat kemampuan perbankan memenuhi kebutuhan valas pelaku usaha, dan mengurangi tekanan terhadap rupiah saat terjadi guncangan eksternal,” kata Josua.
Namun, ia menegaskan bahwa tambahan valas tersebut tidak otomatis meningkatkan cadangan devisa BI dalam jumlah yang sama. Cadangan devisa adalah aset luar negeri milik otoritas moneter, bukan seluruh valas swasta di bank umum.
Dana baru ini hanya memperbesar “pool” likuiditas valas yang dapat diserap BI kapan pun diperlukan melalui operasi pasar atau kerja sama instrumen keuangan.
Jika sepertiga hingga separuh dari tambahan valas tersebut akhirnya menjadi aset BI, cadangan devisa berpotensi tumbuh sekitar US$ 10 miliar hingga US$ 15 miliar dalam beberapa tahun, dengan catatan tidak terjadi lonjakan pembayaran utang luar negeri atau aliran modal keluar lainnya.
Meski berpotensi memperkuat cadangan devisa, Josua mengingatkan bahwa aturan baru ini membawa sejumlah risiko. Pembatasan konversi dan penempatan dana di Himbara bisa dipandang sebagai pengetatan aliran modal, sehingga sebagian eksportir mungkin mencari cara untuk menghindari aturan.
Salah satunya melalui pengalihan perdagangan ke afiliasi luar negeri atau misinvoicing ekspor-impor.
Selain itu, retensi 12 bulan dan kewajiban penempatan di SBN valas berpotensi menimbulkan kekhawatiran terkait kecocokan tenor antara arus kas ekspor dan kebutuhan valas perusahaan.
Josua menilai, risiko tersebut dapat ditekan jika pemerintah memperkuat integrasi data antara pabean, perbankan, dan perpajakan. Pengawasan harus lebih ketat agar potensi kebocoran tidak terjadi melalui dokumen ekspor atau jalur perpajakan.
Menurut Josua, aturan baru perlu dilengkapi kebijakan pendukung agar tidak sekadar menjadi kewajiban administratif. Insentif diperlukan, seperti keringanan pajak untuk kupon SBN valas, suku bunga penempatan yang kompetitif, dan kemudahan penggunaan DHE untuk pembiayaan perdagangan dan lindung nilai.
Ia juga menilai bahwa penguatan devisa tidak bisa hanya mengandalkan aturan. Pemerintah perlu meningkatkan fundamental ekonomi, termasuk mempercepat hilirisasi komoditas, mengurangi ketergantungan impor energi dan pangan, serta memperluas penggunaan rupiah dalam transaksi internasional.
Josua menyimpulkan bahwa secara desain, aturan DHE yang baru memberikan peluang besar untuk menahan lebih banyak valas di dalam negeri dan memperkuat posisi cadangan devisa BI.
Namun keberhasilannya sangat bergantung pada kepatuhan pelaku usaha, daya tarik instrumen penempatan, serta konsistensi koordinasi antara Kementerian Keuangan dan BI.
Ia menegaskan bahwa kebijakan DHE harus dipandang sebagai bagian dari paket penguatan neraca pembayaran dan reformasi struktural yang lebih luas. Dengan pendekatan menyeluruh, kebijakan ini diharapkan dapat menjaga kepercayaan pasar dan mendukung stabilitas makroekonomi Indonesia.