Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - YOGYAKARTA. Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) tengah menghadapi tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan program inklusifnya seiring menyempitnya dukungan donor internasional.
Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani mengatakan, penurunan pendanaan bagi organisasi masyarakat sipil berdampak langsung pada ruang gerak lembaga, terutama dalam memperjuangkan isu perempuan dan penyandang disabilitas.
“Sekarang donor itu semakin menyempit. Karena misalnya Indonesia sendiri sudah menjadi negara yang sudah tidak lagi negara miskin,” kata Nurul saat ditemui Kontan.co.id di Yogyakarta, Kamis (20/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa status Indonesia yang masuk kategori negara berpendapatan menengah membuat banyak donor mengalihkan fokus ke negara-negara yang dianggap lebih membutuhkan. Akibatnya, kompetisi pendanaan antarorganisasi semakin ketat.
Untuk menjaga keberlanjutan program, SAPDA memilih mempersempit fokus kerja pada isu-isu inti yang selama ini menjadi keahlian mereka, seperti hak perempuan disabilitas, kesehatan, penanganan kekerasan, isu hukum, serta riset dan advokasi kebijakan.
“Meskipun bekerja di isu disabilitas, bukan berarti kami supermarket. Kami tetap fokus di area yang memang kami punya spesialisasi,” ujar Nurul.
Langkah ini membuat SAPDA lebih efisien dalam mencari donor yang relevan sekaligus memastikan kualitas program tetap terjaga.
Namun tantangan tidak hanya datang dari pendanaan. Sebagai organisasi yang telah berdiri selama dua dekade, SAPDA juga menghadapi dinamika internal antara staf senior dan generasi muda yang membawa gaya kerja berbeda.
Selain itu, kebutuhan untuk menciptakan lingkungan kerja yang benar-benar inklusif bagi staf disabilitas maupun non-disabilitas menjadi pekerjaan rumah tersendiri.
Nurul menambahkan, SAPDA juga harus menanggung extra cost disability untuk memastikan seluruh staf dan penerima manfaat dapat bekerja dan berpartisipasi secara setara.
Biaya tambahan tersebut meliputi penyediaan pendamping mobilitas, juru bahasa isyarat, serta perangkat aksesibilitas lainnya.
Meski menghadapi tekanan pendanaan, SAPDA tetap menjalankan berbagai program nasional.
Lembaga ini melatih organisasi perempuan dan disabilitas di berbagai daerah, mendampingi lebih dari 30 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas setiap tahun, serta mengembangkan kapasitas periset disabilitas melalui program KONEKSI yang didukung Pemerintah Australia.
Ribuan penerima manfaat telah dijangkau melalui pelatihan luring dan daring, pendampingan advokasi, serta penyusunan modul yang diuji langsung kepada beragam kelompok disabilitas.