Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kinerja ekspor pada Oktober 2025 mencapai US$ 24,24 miliar. Kinerja ekspor ini mengalami kontraksi sebesar 2,31% year on year (yoy) atau bila dibandingkan periode sama tahun lalu. Setelah pada September 2025 tercatat tumbuh 11,41% yoy.
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai, penurunan yang terjadi belakangan ini terutama disebabkan oleh turunnya kontribusi ekspor emas perhiasan. Sementara itu, kinerja komoditas berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit dan batu bara tidak terlalu buruk.
Myrdal melihat, memang struktur ekspor Indonesia masih rentan karena bergantung pada komoditas yang sensitif terhadap fluktuasi harga global. Ketika harga batu bara, kelapa sawit, atau emas melemah, nilai ekspor langsung terdampak.
Kondisi ini menjadi perhatian, apalagi tahun depan diperkirakan ada kebijakan kenaikan bea keluar untuk komoditas seperti batu bara.
“Nah ini ya tentu menjadi perhatian ya, kita mau tidak mau, jangan lagi bergantung pada ekspor yang memang berbasis pada sumber daya alam,” tutur Myrdal kepada Kontan, Selasa (2/12/2025).
Dari sisi pasar, ekspor Indonesia masih ditopang oleh permintaan dari kawasan ASEAN serta Asia Selatan, terutama India, Pakistan, dan Bangladesh. Namun, menurutnya kontribusi ekspor manufaktur perlu terus diperkuat termasuk besi dan baja, kendaraan, serta produk kimia.
Hilirisasi juga harus diperluas agar ekspor lebih tahan terhadap gejolak eksternal. Selama ini, produk hilirisasi yang cukup menonjol baru sebatas sepeda, yang diharapkan dapat berkembang lebih luas.
Di sisi lain, ekspor minyak terus menunjukkan tren penurunan. Hal ini lanjutnya, perlu mendapat perhatian mengingat pemerintah tengah mendorong kemandirian energi. Produktivitas sumur minyak lama dan baru harus ditingkatkan dalam beberapa tahun ke depan, termasuk mendorong ekspor energi baru terbarukan.
Lebih lanjut, Myrdal membeberkan beberapa risiko yang perlu diwaspadai meliputi perlambatan ekonomi global, meningkatnya proteksionisme negara-negara mitra dagang, serta perkembangan perjanjian perdagangan bebas yang dapat menekan daya saing ekspor tetapi justru meningkatkan impor.
Menurutnya, kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) juga perlu dicermati. Meski saat ini dampaknya relatif kecil karena mayoritas ekspor Indonesia ke AS adalah komoditas yang tidak diproduksi di sana atau merupakan produk perusahaan AS yang berinvestasi di Indonesia.
“Amerika juga kita hati-hati ya, walaupun sekarang tidak ada pengaruh karena mayoritas barang-barang yang dikirim ke Amerika itu merupakan komoditas yang di Amerika Serikat tidak produksi ya,” ungkapnya.
Selain itu, Myrdal juga mewanti-wanti terkait potensi meningkatnya barang impor illegal termasuk barang bekas, yang perlu diantisipasi karena dapat menggerus daya saing industri lokal.
Harga barang ilegal yang murah bisa membuat produk industri domestik tampak mahal dan sulit bersaing, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan sektor manufaktur nasional.
“Itu bisa jadi produk-produk mereka jadi kelihatan mahal dan tidak laku, nah itu kan bisa mematikan industri lokal kita, jadi itu juga patut diwaspadai,” tandasnya.