Reporter: TribunNews | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menyoroti kondisi ekonomi Indonesia yang masih rentan.
Terjadi pelemahan daya beli masyarakat, turunnya konsumsi rumah tangga, dan penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI).
Menurutnya jika pemerintah menaikkan tarif pajak maupun cukai, akan menjadi langkah keliru karena industri sedang lesu.
Ia mengibaratkan kenaikan pajak di tengah industri yang lesu bak peribahasa 'sudah jatuh tertimpa tangga'.
“Kalau industri sudah lesu, ya, terus (cukai naik), ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Jadi gimana mereka mau bergerak?” kata Esther kepada wartawan, Senin (15/9/2025).
Atas kondisi ini, usulan soal moratorium atau penundaan kenaikan selama 3 tahun bisa menjadi kebijakan strategis pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Mengingat dampak dari industri yang lesu berefek domino pada nasib para tenaga kerjanya.
Ia mencontohkan, industri hasil tembakau (IHT) saat ini sedang berjuang di tengah masifnya produk rokok ilegal di pasaran yang jauh lebih murah.
Jika tarif cukai hasil tembakau (CHT) dinaikkan, maka berefek pada makin tinggi harga jual produk legal. Di sisi lain peredaran rokok ilegal tanpa cukai masif di pasaran. Hal ini membuat konsumen bergeser ke produk dengan harga lebih murah.
Sementara industri legal terpukul di mana profit turun tapi biaya produksi tetap. Efeknya adalah efisiensi alias pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerjanya.
“Kalau tetap dinaikkan cukainya, konsumen akan shifting ke produk yang lebih murah. Dari sisi produsen akan terjadi penurunan omzet, padahal overhead cost tidak mungkin turun, sehingga profit menurun tapi biaya tetap. Yang akan dilakukan perusahaan adalah efisiensi. Jadi, saya takut kalau cukai rokok dinaikkan nanti PHK yang akan terjadi,” jelasnya.
Esther pun berharap Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mampu membaca kondisi ekonomi secara riil dan objektif, serta menyampaikan realitas tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Saya berharap Bapak Purbaya jangan melupakan untuk memahami kondisi ekonomi yang sebenarnya, dan dia berani menjelaskan kepada Presiden Prabowo bahwa kondisi ekonomi ini seperti ini. Seperti apa adanya,” pungkasnya.
Pemerintah melalui Menkeu terdahulu Sri Mulyani maupun penggantinya, Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan tidak akan menaikkan pajak yang sudah ada atau membuat pajak baru di tahun 2026.
Pemerintah memilih mengoptimalisasi penerimaan negara lewat peningkatan kepatuhan pajak dan tata kelola administrasi.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menilai pendekatan ini lebih efektif dalam menjaga stabilitas industri sekaligus mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Benny juga mengartikan pernyataan Menkeu tersebut sebagai sinyal positif tak adanya kenaikan cukai di tahun depan.
“Pernyataan Kemenkeu terkait tidak akan ada pajak baru atau kenaikan pajak pada tahun 2026 bisa diartikan positif dalam arti pajak tidak berubah, termasuk cukai (rokok) harapannya tidak naik pula,” kata dia.
Benny menyebut kepastian kebijakan sangat dibutuhkan oleh industri sektor padat karya ini karena dalam 5 tahun terakhir menghadapi tekanan berat akibat kenaikan tarif cukai lebih dari 65%.
Ia pun mendorong pemerintah untuk menerapkan moratorium kenaikan cukai rokok selama 3 tahun ke depan. Menurutnya, jika industri diberi ruang untuk pulih, dampaknya akan terasa luas.
"Apabila sektor hasil tembakau ini pulih, maka dapat memberikan dampak pada penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, termasuk peningkatan kesejahteraan petani," pungkas dia.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul INDEF Berharap Menkeu Purbaya Yudhi Berani Laporkan Kondisi Riil Ekonomi ke Presiden Prabowo