Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Posisi Investasi Internasional (PII) Indonesia pada kuartal III 2025 mencatat kewajiban neto yang meningkat.
Bank Indonesia (BI) mencatat, pada akhir kuartal III 2025, kewajiban neto tercatat sebesar US$ 262,9 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban neto pada akhir kuartal II 2025 sebesar US$ 244,5 miliar.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, peningkatan kewajiban neto PII pada kuartal III 2025 terjadi karena kewajiban finansial luar negeri bertambah jauh lebih besar dibanding kenaikan aset finansial luar negeri.
Ia menyebut, secara angka aset finansial luar negeri hanya naik sekitar US$ 3,8 miliar menjadi US$ 541,1 miliar, terutama karena kenaikan nilai pasar emas, saham global, dan berbagai aset di negara tujuan penempatan, bukan karena arus pembelian aset baru yang sangat besar.
Sebaliknya, kewajiban finansial luar negeri melonjak sekitar US$ 22,2 miliar menjadi US$ 803,9 miliar, sehingga selisih antara kewajiban dan aset (kewajiban neto) melebar.
“Dengan kata lain, dari sisi arus, Indonesia tetap menerima tambahan pembiayaan dari luar negeri, dan dari sisi valuasi, kenaikan harga saham di dalam negeri serta di negara tujuan investasi ikut mengerek nilai kewajiban dan aset, tetapi efeknya lebih besar di sisi kewajiban,” tutur Josua kepada Kontan, Senin (8/12/2025).
Dari sudut pandang ketahanan eksternal, ia menilai, posisi luar negeri Indonesia masih relatif kokoh, meskipun tekanan di sisi pembiayaan jangka pendek meningkat.
Pertama, rasio kewajiban neto PII terhadap produk domestik bruto sekitar 18,3%, memang naik dari 17,2% di kuartal II 2025. Namun masih berada pada kisaran menengah dan jauh di bawah negara dengan kerentanan eksternal tinggi yang biasanya ditandai rasio kewajiban neto mendekati atau melampaui 40%–50% dari PDB.
Kedua, struktur kewajiban didominasi ekuitas dan modal jangka panjang. Instrumen ekuitas menyumbang kewajiban neto sekitar US$ 272,4 miliar, sedangkan instrumen lain secara agregat masih mencatat aset neto.
Di sisi jangka waktu, sekitar 93% kewajiban finansial luar negeri berbentuk instrumen jangka panjang, sementara aset jangka pendek (yang sebagian besar berupa cadangan devisa dan simpanan luar negeri) justru lebih besar daripada kewajiban jangka pendek, sehingga secara struktur risiko pembiayaan ulang jangka pendek relatif terkendali.
Kondisi ini juga, kata Josua, sejalan dengan gambaran neraca pembayaran dan indikator kekokohan eksternal di laporan neraca pembayaran kuartal III 2025. Pada triwulan ini, neraca transaksi berjalan berbalik surplus sekitar US$ 4,0 miliar atau sekitar 1,1% PDB, terutama berkat surplus neraca perdagangan barang yang masih besar dan membaiknya neraca jasa perjalanan.
Meskipun transaksi modal dan finansial tetap defisit dan neraca pembayaran secara keseluruhan tercatat negatif, posisi cadangan devisa pada akhir kuartal III 2025 tetap tinggi yakni sekitar US$ 148,7 miliar. Jumlah ini setara dengan sekitar 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan internasional.
Selain itu, rasio utang luar negeri total terhadap produk domestik bruto sekitar 29%–30% dan rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap produk domestik bruto sekitar 5%–6% juga menandakan beban utang luar negeri yang masih moderat.
“Dengan kata lain, meskipun PII menunjukkan kenaikan kewajiban neto, hal itu tidak berdiri sendiri, tetapi masih ditopang oleh transaksi berjalan yang cenderung seimbang dan cadangan devisa yang memadai,” ujar Josua.
Ke depan, Josua memperkirakan, perkembangan PII Indonesia sangat ditentukan oleh kombinasi neraca transaksi berjalan, arus pembiayaan, serta faktor valuasi harga aset global dan nilai tukar.
Ia memproyeksikan neraca pembayaran bahwa pada 2025 posisi neraca pembayaran masih berada di bawah tekanan dengan defisit keseluruhan dan penurunan cadangan devisa, terutama karena arus keluar investasi portofolio di tengah ketidakpastian global dan masih kuatnya preferensi pelaku pasar terhadap aset aman.