Home | Saved News
(+) Save News



Peningkatan Investasi Tak Sejalan dengan Pertumbuhan Tax Ratio Indonesia



Peningkatan Investasi Tak Sejalan dengan Pertumbuhan Tax Ratio Indonesia

Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID-JAKARTA Pemerintah mencatat tren investasi yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun, di sisi lain, rasio perpajakan atau tax ratio justru mengalami penurunan. Kondisi ini menandakan bahwa geliat investasi belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam penerimaan pajak yang optimal.

Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu mengatakan bahwa investasi merupakan motor penting pendorong pertumbuhan ekonomi.

Saat ini, kontribusi investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 26-30%, menempati posisi kedua terbesar setelah konsumsi rumah tangga yang sekitar 55%.

Ia mengungkapkan bahwa target investasi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2024, target investasi sebesar Rp 1.650 triliun telah terlampaui dengan realisasi mencapai Rp 1.700 triliun. 

Tahun 2025 ini, target dinaikkan menjadi Rp 1.900 triliun, dan akan terus meningkat menjadi Rp 2.175 triliun pada 2026 dan Rp 3.014 triliun pada 2029.

"Investasi ini adalah komponen kedua terbesar yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar Todotua dalam acara Forum Investasi Nasional 2025, Kamis (13/11).

Hingga kuartal III-2025, realisasi investasi telah mencapai Rp1.434 triliun, atau sekitar 75% dari target tahunan. Todotua menyebut angka tersebut menunjukkan tren positif menuju capaian akhir tahun.

"Sampai akhir tahun, hitungan-hitungan kita, kita lihat pergerakan sampai hari ini, karena kita dasboard OSS ini, selain urusan pelayanan perizinan, juga memantau terhadap pergerakan investasi. Kita punya level confidance," katanya.

Sayangnya, peningkatan investasi ini tidak diikuti dengan peningkatan tax ratio Indonesia.

Berdasarkan perhitungan KONTAN, angka tax ratio Indonesia pada periode hingga kuartal III-2025 hanya mencapai 8,58%. 

Adapun berdasarkan data Kementerian Keuangan, tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,38% pada 2022, turun menjadi 10,31% pada 2023. 

Tahun 2024 kembali melemah menjadi 10,08% dan outlook untuk 2025 bahkan lebih rendah lagi, yakni hanya 10,03%.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita mengatakan bahwa peningkatan tren investasi yang tidak sejalan dengan peningkatan penerimaan pajak ini disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, banyak investasi baru masih berada pada fase pembangunan dan belum menghasilkan laba kena pajak. 

"Dalam periode ini, perusahaan bahkan bisa menikmati fasilitas fiskal seperti tax holiday atau super deduction, yang memang diberikan untuk menarik investasi jangka panjang," ujar Ronny kepada Kontan.co.id, Kamis (13/11).

Kedua, struktur investasi saat ini banyak didominasi sektor padat modal dan berorientasi ekspor. Artinya, dampak langsung terhadap pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) dari konsumsi domestik relatif kecil. 

"Sementara sektor padat karya yang cepat memberi efek berganda terhadap pajak konsumsi dan penghasilan, justru tumbuh lebih lambat," jelasnya.

Ketiga, Ronny menilai bahwa rasio pajak nasional juga dipengaruhi faktor non-investasi, seperti harga komoditas global yang fluktuatif, basis pajak informal yang masih besar tapi belum tergarap, serta efektivitas pemungutan pajak digital yang masih belum optimal. 

"Jadi, meskipun modal masuk meningkat, belum tentu seluruhnya langsung menambah basis pajak dalam jangka pendek," terang Ronny.

Namun ke depan, ia memperkirakan ketika proyek-proyek investasi ini mulai beroperasi penuh, dampaknya terhadap penerimaan pajak akan mulai terasa.

Ini mencakup pajak korporasi, PPh karyawan, dan berbagai jenis pajak sepanjang rantai pasok domestik yang diperkirakan juga akan ikut membaik.

Sementara itu, Research Assistant BSI Institute, Sayyaf Rabbaniy menjelaskan bahwa kondisi tersebut terjadi lantaran sebagian besar arus modal tersebut tergolong phantom FDI, yakni investasi yang secara hukum tercatat, tetapi tidak mencerminkan aktivitas ekonomi riil.

Ia mengungkapkan, lonjakan FDI dari yurisdiksi pajak rendah seperti Bermuda, British Virgin Islands (BVI), dan Kepulauan Cayman dalam beberapa tahun terakhir menjadi indikasi kuat meningkatnya eksposur Indonesia terhadap offshore financial centers (OFCs).

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi dari negara-negara tersebut menunjukkan fluktuasi ekstrem dan dominasi di sektor yang minim serapan tenaga kerja, seperti industri kertas, logistik, dan jasa.

Kondisi ini mengindikasikan adanya potensi pengalihan laba (profit shifting) oleh perusahaan multinasional yang memanfaatkan anak usaha di negara pajak rendah untuk menekan kewajiban pajak di Indonesia.

Ia menegaskan bahwa praktik semacam ini dapat menggerus basis pajak nasional sekaligus menurunkan efektivitas kebijakan fiskal.

"Akumulasi dari praktik ini turut dapat menjadi salah satu alasan mengapa rasio pajak Indonesia menurun beberapa tahun terakhir, meskipun realisasi PMA terus meningkat," ujar Sayyaf dalam laporan BSI Institite Quartely Volume III.

Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menambahkan bahwa peningkatan investasi yang tidak diikuti oleh kenaikan  tax ratio dinilai sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah tengah memberikan banyak insentif fiskal untuk menarik investor. 

"Itu kan jadi sinyal kalau banyak insentif pajak yang diterapkan untuk mendorong investasi," kata Myrdal.





Source Berita


© 2024 - DotNet HTML News - Using AngleSharp and .NET 8.0 LTS