Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatar adanya penurunan kepatuhan wajib pajak non karyawan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2024, rasio kepatuhan kelompok ini merosot menjadi 27,96% pada 2024, terendah dalam lima tahun terakhir.
Dari total 4,92 juta wajib pajak non karyawan yang terdaftar wajib SPT, hanya 1,37 juta yang melaporkan SPT Tahunan PPh 2024.
Capaian ini anjlok jauh dibandingkan 2023, ketika rasio kepatuhan masih berada di level 67,41% dan bahkan lebih rendah dibandingkan periode pandemi sekalipun.
Sayangnya saat dikonfirmasi KONTAN, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Rosmauli tidak menjawab dan tidak memberikan penjelasan terkait adanya penurunan penurunan pada kelompok ini.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai anjloknya rasio kepatuhan pelaporan SPT Tahunan WP OP non-karyawan pada 2024 merupakan anomali besar dan menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Ia menyebut penurunan ini tidak sekadar disebabkan turunnya minat wajib pajak untuk melapor, tetapi merupakan dampak dari perubahan besar dalam struktur basis data perpajakan.
"Melihat jurang kesenjangan dari 67,31% ke 27,96%, ini pastinya bukan sekadar mendadak orang malas lapor SPT. Namun, lebih karena telah terjadi perubahan struktur basis data, komposisi wajib pajak, dan perilaku mereka," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Senin (8/12/2025).
Menurut Ariawan, ada tiga faktor utama penyebab penurunan tersebut.
Pertama, faktor statistik dan administrasi. Ariawan menilai lonjakan jumlah wajib pajak non-karyawan terjadi akibat pemadanan NIK menjadi NPWP serta proses ekstensifikasi DJP.
Integrasi tersebut membuat banyak pelaku usaha kecil yang sebelumnya tidak teridentifikasi kini tercatat sebagai wajib pajak.
"Meskipun mereka tercatat sebagai wajib SPT, tapi masih banyak yang omzetnya di bawah PTKP atau di bawah Rp 500 juta," katanya.
Secara psikologis, kata Ariawan, mereka merasa tidak memiliki pajak yang harus dibayar sehingga merasa tidak perlu lapor SPT.
"Ini secara statistik membuat denominator meledak, sementara literasi kewajiban perpajakan belum sempat teredukasi," imbuh Ariawan.
Selain itu, banyak NPWP yang secara ekonomi sudah tidak aktif masih tercatat sebagai wajib SPT karena usahanya tutup atau pemiliknya beralih menjadi karyawan, namun statusnya belum dinonaktifkan.
Kedua, faktor struktural. Ariawan menilai rumitnya formulir SPT 1770 masih menjadi masalah klasik. WP non-karyawan harus menyiapkan pembukuan atau pencatatan rinci serta memahami aturan berlapis seperti PPh Final UMKM, norma, hingga angsuran Pasal 25.
"Hal ini membuat cost of compliance non karyawan lebih tinggi daripada wajib pajak karyawan baik waktu maupun mental load-nya," katanya.
Di sisi lain, masih terdapat shadow economy yang membuat sebagian aktivitas usaha tidak tercatat dan berdampak pada kepatuhan formal.
Ketiga, faktor perekonomian. Ariawan menyebut penutupan usaha pada 2024 turut menekan kepatuhan pelaporan. Melemahnya daya beli sejak kuartal III-2024 membuat banyak UMKM mengalami penurunan omzet.
Selain itu, dukungan kepatuhan cenderung lebih kuat diberikan kepada segmen karyawan melalui pelaporan kolektif dan pendampingan. Hal itu terbukti dari rasio kepatuhan karyawan yang tembus 108,78% pada 2024. Sementara segmen non-karyawan tidak mendapat dukungan setara.
"Tahun 2024 kita tahu juga ada relaksasi batas waktu pelaporan. Deadline yang bergeser ini membuat mood lapor tentu rusak karena prokrastinasi," terangnya.
Untuk meningkatkan kepatuhan, Ariawan menekankan pentingnya data cleansing dan perbaikan segmentasi wajib pajak. Penataan status non-efektif, profiling WP, serta penyederhanaan proses pelaporan dinilai menjadi langkah kunci.
Pemerintah juga disebut perlu memperkuat pendampingan, pengingat (reminder), serta edukasi yang lebih spesifik bagi segmen non-karyawan.
Ariawan memperkirakan tingkat kepatuhan WP non-karyawan pada 2025 mungkin sedikit membaik, tetapi tidak akan kembali ke level sebelum 2024 tanpa reformasi struktural.
"Dengan struktur basis seperti sekarang, angka 27,96% mungkin hanya naik tipis ke rentang 30%-35% jika kampanye dan pengawasan non-filter diperkuat," pungkas Ariawan.