17 September 2025 | 20.51 WIB
DOSEN Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewajibkan impor bahan bakar minyak (BBM) untuk SPBU asing melalui PT Pertamina (Persero) berpotensi menjadi kekeliruan yang menimbulkan masalah ke depan. “Dengan kebijakan ini nampaknya pemerintah ingin mengembalikan tata kelola migas hilir dari liberalisasi kembali ke kebijakan regulated,” kata Fahmy, Selasa, 16 September 2025.
Menurut Fahmy, perusahaan asing awalnya mau berinvestasi karena tata kelola migas hilir yang liberal. Mereka bebas mendirikan SPBU, mengimpor BBM sesuai kuota, hingga menetapkan harga jual sesuai mekanisme pasar.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Namun, dengan impor BBM satu pintu, SPBU asing tidak lagi bebas menentukan sumber impor murah. “Mereka harus membeli dari Pertamina dengan harga yang ditetapkan Pertamina. Margin akan makin kecil, bahkan bisa rugi hingga menutup SPBU,” ujarnya.
Fahmy memperingatkan, jika SPBU asing hengkang, maka Pertamina akan memonopoli tata kelola migas hilir. Kondisi itu, menurut dia bakal berdampak buruk pada iklim investasi di Indonesia, tidak hanya di migas, tetapi juga sektor lain.
Ia menambahkan, iklim investasi yang memburuk akan menghambat target pertumbuhan ekonomi Presiden Prabowo sebesar 8 persen per tahun. “Pemerintah sebaiknya membatalkan rencana impor BBM satu pintu yang bisa menjadi kebijakan blunder,” kata Fahmy.
Pilihan Editor: Solidaritas Lintas Batas: Dari Jiran ke Ojol Jakarta